Film cinta remaja saat ini sudah banyak berjamuran dan sudah
menjadi pilihan genre yang mainstream. Perkara mainstream ini seharusnya mampu
meningkatkan kreativitas agar mampu menciptakan cerita yang diluar pakem namun
berkualitas nan menakjubkan. Setelah genre ini diangkat kembali oleh AADC?
(setelah sebelumnya genre ini sempat vakum dari perfilman Indonesia), genre ini
mulai menjadi favorit sineas bangsa karena semakin banyaknya peminat teen-romance. “Love in Perth” hadir
mengikuti arus derasnya film bergenre cinta remaja. Kota Perth diharapkan
menjadi sajian yang cukup memberi warna akan kisah cinta para manusia labil. MD
Enntertainment menunjuk Findo Purnomo HW untuk menggarap film ini dengan
menyertakan para artis debutan yang sebelumnya sudah naik namanya melalui dunia
tarik suara.
Love in Perth berkisah tentang seorang gadis Jakarta bernama
Lola (Gita Gutawa) yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkannya di
sekolah elit di Perth, Australia. Sejak awal mula keberangkatan di bandara
hingga perjalanan di pesawat, Lola bertemu dengan lelaki yang cukup menyebalkan
yang diketahui bernama Dhani (Derby Romero) dan ternyata dia merupakan siswa
sekolah yang dituju Lola. Berbekal pengalaman Dhani yang lebih lama tinggal di
Perth, Lola mengharapkan bantuannya untuk membimbing dia, tapi tanggapan dingin
yang diberikan Dhani membuat hubungan mereka tidak harmonis. Untungnya masih
ada orang Indonesia lain yang mau menolong Lola, yakni Ari (Petra Sihombing).
Kehidupan di Perth ternyata membuat Lola kaget. Kehidupan
yang terlalu bebas tercermin dari teman sekamar Lola yang tidak ramah dan
seenaknya sendiri, yakni Tiwi (Mihella Putri). Lola pun lama kelamaan tidak
tahan dengan sikap teman sekamar yang sok bule padahal sesama orang Indonesia
itu. Di sisi lain hubungannya dengan Dhani semakin membaik, akan tetapi
kebaikan Lola ternyata hanya dipermainkan oleh Dhani. Dhani dan semua
perbuatannya hanya untuk memanfaatkan Lola demi kesenangannya sendiri,
menyebabkan Lola gagal dalam pelajaran. Lola terlalu sibuk mengurus Dhani
sementara Dhani terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri. Lola pun memutuskan
menjauhi Dhani, ketika keadaan Dhani dan Lola berantakan kemudian datanglah Ari
yang jatuh cinta pada Lola.
Mengecewakan, saya kembali tertipu dengan poster film. Poster
yang seolah menampilkan cinta segi tiga yang special nyatanya terlalu biasa. Kisah
yang ada layaknya film-film yang sudah ada dimana sang cewek menyukai sang
cowok yang biasa bertengkar dengannya sementara cowok baik hati hanya mampu
sebatas menjadi sahabatnya dengan memendam cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Bahkan penonton tidak dibuat bertanya-tanya sama sekali setelah Lola tidak menunjukan
ketidaktertarikan pada Ari sejak awal, tidak ada yang bisa dijadikan nilai
lebih dari segi alur cerita. Mudah ditebak dan membosankan, bahkan sejak film
belum mencapai seperempat durasinya. Selain itu, film ini juga terlalu bergaya
film teen-romance ala Disney dimana sang protagonist dipandang
remeh karena status social lalu dibenci sang antagonis cewek lainnya tanpa
sebab yang jelas selain rasa cemburu, Disney sekali bahkan bisa dibilang Sinetron banget.
Dari segi penokohan,
karakter yang ada pun tidak konsisten, plin plan, dan tidak jelas. Entah apa
yang dimiliki Lola selain pintar dan baik begitu pula karakter Dhani yang hanya
terpaku pada egois dan arogan. Pengembangan karakter yang gagal dan tdak
menunjukan siapa mereka. Sementara dari segi acting pun ternyata masih dibawah
standar. Gita Gutawa bisa dibilang gagal berakting dalam film ini, selain itu
para pemain pendukung yang ada ternyata tidak kompeten dalam berakting yang
membuat film terasa aneh. Beberapa dialog bahasa Inggris pun terkesan hafalan
dan terlalu formal. Entah salah siapa, penulis scenario atau pemeran itu
sendiri?.
Judul yang menyertakan sebuah kota bernama Perth pun
nyatanya tidak dimanfaatkan ole Findo Purnomo dengan baik. Latar tempat terlalu
berfokus pada lokasi indoor yang
jenuh, sesekali diluar pun ujung-ujungnya hanyalah taman. Sang sutradara tidak
mampu merangkum keadaan kota Perth baik itu suasana, budaya maupun arsitektur
bangunan yang ada ke dalam frame.
Selain itu film ini tidak menggambarkan budaya sama sekali. Pada
awalnya saya tertarik ketika bagaimana Lola mengalami shock culture dimana dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa di
tempat barunya ini dibanding tempat dimana dia hidup sebelumnya, contohnya
kebebasan yang kebablasan. Namun pengalaman shock
culture yang dialami Lola nyatanya dialami setelah melihat perilaku
teman-temannya yang dari Indonesia, bukan orang-orang diluar budayanya.
Seolah-olah sang sutradara menganggap permasalahan budaya ini remeh, mungkin
banyak yang tidak menyadari, tapi melihat bagaimana Lola yang merupakan orang
baru di lingkungan itu langsung mau diajak kencan setelah hanya beberapa jam
akrab yang parahnya diajak oleh sesama orang Indonesia setidaknya menggambarkan
bagaimana sang sutradara tidak memperhatikan sisi budaya yang berakibat
rancunya karakter pemain. Lola yang digambarkan rajin sholat tiba-tiba
berperilaku seperti itu dalam asmara membuat karakter menjadi tidak konsisten.
Selain berefek buruk pada penokohan, pembentukan chemistry dalam film ini pun menjadi gagal, sama halnya seperti
menonton film romance barat, bedanya tidak ada adegan ranjang.
Secara keseluruhan film ini hanyalah film cinta yang terlalu
biasa bahkan bisa dibilang gagal. Alur cerita yang biasa serta konflik yang
hanya menyoroti satu masalah saja membuat film ini tidak ada bedanya dengan cerita
FTV, bedanya film ini berlatar tempat diluar negeri. Bahkan kegagalan film ini dalam
menonjolkan suasana Perth dan alur yang monoton membuat FTV terlihat lebih
baik.
Rating : 4
No comments:
Post a Comment