"Mangkane mocho! Maksud ne anti kemapanan
iku, untuk aturan yang dibuat oleh masyarakat. Bukan duit. Teori ne, kita gak
perlu aturan sing baku buat njalani hidup." Almira
Film Punk In Love bisa dikatakan sebagai salah satu film
terbaik Indonesia. Meski hanya film ringan namun makna yang terdapat didalamnya
tidak bisa dianggap sepele. Sepintas film ini memang terkesan hanya menawarkan
komedi berlatar kehidupan jalanan anak punk beserta kehidupan romantismenya.
Kesan itu didapatkan dari judul filmnya serta didukung trailernya sehingga
ekspetasi penonton pun tidak terlalu besar. Strategi yang cukup jitu karena
dengan ekspetasi sederhana kita justru mendapatkan tontonan yang melebihi
ekspetasi. Tentu pada awalnya banyak yang tertipu dengan judul yang ditawarkan,
dan bisa jadi para komunitas punk sendiri agak kurang suka kalau baru melihat
judulnya yang seperti mengekspose kehidupan cinta menye-menye berlatar anak
punk. Namun siapa yang menyangka ditengah arus banyaknya film cinta mewek dan
horror-erotic saat itu, film ini justru berhasil mengangkat esensi dari punk
itu sendiri dibanding cerita cintanya seperti judul yang ditawarkan.
Film Punk In Love yang disutradari oleh Ody C. Harahap dan
diproduseri oleh Ram Punjabi serta didstribusikan oleh MVP Picture ini
bercerita tentang cerita suka duka perjalanan segerombol Punkers Malang menuju
Jakarta untuk menyatakan cinta.
Cerita bermula ketika Arok (Vino G. Bastian) mencoba bunuh
diri dari Departemen Agama Malang (biar masuk surga kali) setelah
mendapat kabar bahwa pujaan hatinya Maia (Girindra Kara) hendak menikah dengan
pemuda lain di Jakarta 5 hari lagi.
Untungnya percobaan bunuh diri Arok berhasil dihentikan oleh 3 temannya, yakni
Yoji (Andhika Pratama), Mojo (Yogi Finanda), dan Almira (Aulia Sarah). Setelah
sebelumnya Arok ditantang untuk memberanikan diri menyatakan cintanya pada
Maia, Arok pun bertekad akan datang ke Jakarta sebelum pernikahan itu
dilaksanakan, masalah diterima atau tidak itu urusan belakangan, tekad Arok pun
didukung ketiga temannya yang akan ikut mengantar Arok menuju Jakarta.
Petualangan pun dimulai.
Perjalanan mereka ternyata tidak lah mulus, ke empat punkers
itu harus berjuang mati-matian meskipun hanya untuk melewati satu kota ke kota
lainnya hingga mencapai Jakarta. Awalnya mereka harus mundur ke Bromo terlebih
dahulu karena salah naik truk yang kemudian dilanjut singgah ke Blitar dan
mampir ke makam Bung Karno, dalam perjalanan Mojo sempat berkata bahwa Bung
Karno dulunya adalah Punkers karena berani berontak melawan penguasa, sang
penjajah. Perjalanan berikutnya dilalui dengan banyak kesusahan namun dibalut
humor-humor serta kekonyolan mereka yang cukup mengocok perut seperti ketika
harus memalak tukang sate Madura, melalui banjir di Semarang, dan
banyak kejadian lucu lainnya. Beberapa adegan menyentuh mulai banyak
dperlihatkan ketika mencapai Cirebon, seperti harus mengamen demi sesuap nasi,
ditolak puskesmas ketika Mojo sekarat, hingga akhirnya sampai di Jakarta,
itupun harus diawali dengan perkelahian dengan preman yang berujung pada penjara.
Adegan humor yang ditampilkan disini bukanlah adegan humor
murahan, humor yang disajikan cukup fresh
nan berbobot serta masih menyambung dalam cerita sehingga dibalik adegan humor
selalu ada selipan dialog yang cukup mengena di hati. Seperti misalnya ketika mereka
harus menumpang truk menuju Semarang, mereka mengkritik fenomena partai-partai
di Indonesia yang Cuma banyak omong dengan cara senda canda gurau. Kelebihan
lain film ini adalah kemampuan sang sutradara memotret fenomena yang ada dalam
masyarakat termasuk Punk itu sendiri. Film ini berhasil mengemas kehidupan
sulit Punk karena citra yang mereka dapatkan seperti ditolak rumah makan dan
puskesmas yang disertai sebab-akibat dan tidak melupakan penjelasan idealisme
yang dipertahankan para Punkers tersebut. Selain itu, film ini juga rasanya
mampu mengkritik banyak hal meski hanya sekedar melalui dialog gurauan mereka,
selain mengkritik partai-partai Indonesia, film ini juga mengkritik kondisi
masyarakat kita yang memandang seseorang dari penampilan, dan hebatnya lagi
film ini memiliki pesan tersirat untuk kalangan Punk itu sendiri seperti Punk
kok dangdutan? Punk kok jadi model? Intinya kita digiring untuk memahami sejauh
mana kita atau bahkan mereka (Punk) memahami filososfi Punk itu sendiri.
Hal menarik lainnya di film ini adalah bagaimana sang
pembuat cerita menciptakan karakter yang begitu unik sehingga memberi peranan penting terhadap isi
ceritanya seperti Arok yang paling idealis namun tak begitu lihai dalam masalah
cinta belum lagi kekonyolannya ketika setiap bangun tidur atau bahkan tidurnya
itu sendiri, lalu ada Mojo, Punkers yang puitis dan seringkali dia mengutip
puisi dari Chairul Anwar selain itu dia merupakan sosok yang religious dan
patuh terhadap orang tua, selanjutnya Almira, kelakuannya yang ceroboh cukup
memberi warna pada cerita selain itu dia juga adalah Aremania sejati, yang
terakhir Yoji, agak sulit membaca karakternya namun yang pasti dia selalu
mengekor Almira tentu karena Yoji menyukainya.
Secara keseluruhan saya memberi nilai 9 dari 10. Terlalu
besar kah? Saya pikir tidak, nilai ini sangat pantas mengingat bagaimana cerita
ini diracik dan divisualisasikan. Humornya, lalu dialog berbobotnya, alur
dengan sisipan cerita yang pas, pencarian lokasi yang tepat, wardrobenya, dan
castingnya, hingga ide menggunakan bahasa Jowo. Sulit mencari kekurangannya
kecuali dari segi pengucapan bahasa Jawa yang masih agak kaku dari Almira alias
Aulia Sarah, namun acungan jempol bagi dua artis Jakarta, Vino dan Yogi yang
terlihat agak faseh pengucapannya, Andhika tidak masuk hitungan karena dia
memang asli arek ngalam.
Film ini sepertinya tidak terlalu menimbulkan kontroversi
dikalangan Punk sendiri melihat Marjinal, Bunga Hitam dan beberapa band Punk
“terpandang” lainnya mau memberikan musiknya untuk Soundtrack. Mungkin banyak
yang akan marah kalau hanya sekedar menilai dari judul dan trailernya, tapi
jika sudah menonton rasanya banyak yang akan menelan ludah sendiri seperti
halnya saya. Sebenarnya agak kurang setuju Punk yang merupakan perlambang anti
kemapanan dimanfaatkan dan diubah menjadi mapan, meski begitu hati tetap tidak
bisa bohong bahwa film ini mampu menghibur dan menyentuh.
Yup, meskipun film ini cukup memberi porsi besar dalam
pembentukan idealisme, toh intinya ini hanyalah film ringan yang bertujuan
mengendurkan ketegangan urat saraf kita dengan sajian komedinya, namun film
ringan ini juga menyajikan beberapa pelajaran berharga yang patut kita ambil.
Salah satu film favoritku sepanjang masa...!
ReplyDelete"Kejarlah cintamu sampai ke negeri Cina..." :D
Ga nyangka ya Indonesia bisa bikin film secerdas ini.. Bravo sineas Indonesia.
Delete"Sekali berarti setelah itu, baru mati"