Sunday, March 10, 2013

[Indo-Movie] Punk In Love (2009)



"Mangkane mocho! Maksud ne anti kemapanan iku, untuk aturan yang dibuat oleh masyarakat. Bukan duit. Teori ne, kita gak perlu aturan sing baku buat njalani hidup." Almira

Film Punk In Love bisa dikatakan sebagai salah satu film terbaik Indonesia. Meski hanya film ringan namun makna yang terdapat didalamnya tidak bisa dianggap sepele. Sepintas film ini memang terkesan hanya menawarkan komedi berlatar kehidupan jalanan anak punk beserta kehidupan romantismenya. Kesan itu didapatkan dari judul filmnya serta didukung trailernya sehingga ekspetasi penonton pun tidak terlalu besar. Strategi yang cukup jitu karena dengan ekspetasi sederhana kita justru mendapatkan tontonan yang melebihi ekspetasi. Tentu pada awalnya banyak yang tertipu dengan judul yang ditawarkan, dan bisa jadi para komunitas punk sendiri agak kurang suka kalau baru melihat judulnya yang seperti mengekspose kehidupan cinta ­menye-menye  berlatar anak punk. Namun siapa yang menyangka ditengah arus banyaknya film cinta mewek dan horror-erotic saat itu, film ini justru berhasil mengangkat esensi dari punk itu sendiri dibanding cerita cintanya seperti judul yang ditawarkan.


Film Punk In Love yang disutradari oleh Ody C. Harahap dan diproduseri oleh Ram Punjabi serta didstribusikan oleh MVP Picture ini bercerita tentang cerita suka duka perjalanan segerombol Punkers Malang menuju Jakarta untuk menyatakan cinta. 

Cerita bermula ketika Arok (Vino G. Bastian) mencoba bunuh diri dari Departemen Agama Malang (biar masuk surga kali) setelah mendapat kabar bahwa pujaan hatinya Maia (Girindra Kara) hendak menikah dengan pemuda lain di Jakarta 5 hari lagi. Untungnya percobaan bunuh diri Arok berhasil dihentikan oleh 3 temannya, yakni Yoji (Andhika Pratama), Mojo (Yogi Finanda), dan Almira (Aulia Sarah). Setelah sebelumnya Arok ditantang untuk memberanikan diri menyatakan cintanya pada Maia, Arok pun bertekad akan datang ke Jakarta sebelum pernikahan itu dilaksanakan, masalah diterima atau tidak itu urusan belakangan, tekad Arok pun didukung ketiga temannya yang akan ikut mengantar Arok menuju Jakarta. Petualangan pun dimulai.

Perjalanan mereka ternyata tidak lah mulus, ke empat punkers itu harus berjuang mati-matian meskipun hanya untuk melewati satu kota ke kota lainnya hingga mencapai Jakarta. Awalnya mereka harus mundur ke Bromo terlebih dahulu karena salah naik truk yang kemudian dilanjut singgah ke Blitar dan mampir ke makam Bung Karno, dalam perjalanan Mojo sempat berkata bahwa Bung Karno dulunya adalah Punkers karena berani berontak melawan penguasa, sang penjajah. Perjalanan berikutnya dilalui dengan banyak kesusahan namun dibalut humor-humor serta kekonyolan mereka yang cukup mengocok perut seperti ketika harus memalak tukang sate Madura, melalui banjir di Semarang, dan banyak kejadian lucu lainnya. Beberapa adegan menyentuh mulai banyak dperlihatkan ketika mencapai Cirebon, seperti harus mengamen demi sesuap nasi, ditolak puskesmas ketika Mojo sekarat, hingga akhirnya sampai di Jakarta, itupun harus diawali dengan perkelahian dengan preman yang berujung pada penjara.

Adegan humor yang ditampilkan disini bukanlah adegan humor murahan, humor yang disajikan cukup fresh nan berbobot serta masih menyambung dalam cerita sehingga dibalik adegan humor selalu ada selipan dialog yang cukup mengena di hati. Seperti misalnya ketika mereka harus menumpang truk menuju Semarang, mereka mengkritik fenomena partai-partai di Indonesia yang Cuma banyak omong dengan cara senda canda gurau. Kelebihan lain film ini adalah kemampuan sang sutradara memotret fenomena yang ada dalam masyarakat termasuk Punk itu sendiri. Film ini berhasil mengemas kehidupan sulit Punk karena citra yang mereka dapatkan seperti ditolak rumah makan dan puskesmas yang disertai sebab-akibat dan tidak melupakan penjelasan idealisme yang dipertahankan para Punkers tersebut. Selain itu, film ini juga rasanya mampu mengkritik banyak hal meski hanya sekedar melalui dialog gurauan mereka, selain mengkritik partai-partai Indonesia, film ini juga mengkritik kondisi masyarakat kita yang memandang seseorang dari penampilan, dan hebatnya lagi film ini memiliki pesan tersirat untuk kalangan Punk itu sendiri seperti Punk kok dangdutan? Punk kok jadi model? Intinya kita digiring untuk memahami sejauh mana kita atau bahkan mereka (Punk) memahami filososfi Punk itu sendiri. 

Hal menarik lainnya di film ini adalah bagaimana sang pembuat cerita menciptakan karakter yang begitu unik sehingga  memberi peranan penting terhadap isi ceritanya seperti Arok yang paling idealis namun tak begitu lihai dalam masalah cinta belum lagi kekonyolannya ketika setiap bangun tidur atau bahkan tidurnya itu sendiri, lalu ada Mojo, Punkers yang puitis dan seringkali dia mengutip puisi dari Chairul Anwar selain itu dia merupakan sosok yang religious dan patuh terhadap orang tua, selanjutnya Almira, kelakuannya yang ceroboh cukup memberi warna pada cerita selain itu dia juga adalah Aremania sejati, yang terakhir Yoji, agak sulit membaca karakternya namun yang pasti dia selalu mengekor Almira tentu karena Yoji menyukainya.

Secara keseluruhan saya memberi nilai 9 dari 10. Terlalu besar kah? Saya pikir tidak, nilai ini sangat pantas mengingat bagaimana cerita ini diracik dan divisualisasikan. Humornya, lalu dialog berbobotnya, alur dengan sisipan cerita yang pas, pencarian lokasi yang tepat, wardrobenya, dan castingnya, hingga ide menggunakan bahasa Jowo. Sulit mencari kekurangannya kecuali dari segi pengucapan bahasa Jawa yang masih agak kaku dari Almira alias Aulia Sarah, namun acungan jempol bagi dua artis Jakarta, Vino dan Yogi yang terlihat agak faseh pengucapannya, Andhika tidak masuk hitungan karena dia memang asli arek ngalam.

Film ini sepertinya tidak terlalu menimbulkan kontroversi dikalangan Punk sendiri melihat Marjinal, Bunga Hitam dan beberapa band Punk “terpandang” lainnya mau memberikan musiknya untuk Soundtrack. Mungkin banyak yang akan marah kalau hanya sekedar menilai dari judul dan trailernya, tapi jika sudah menonton rasanya banyak yang akan menelan ludah sendiri seperti halnya saya. Sebenarnya agak kurang setuju Punk yang merupakan perlambang anti kemapanan dimanfaatkan dan diubah menjadi mapan, meski begitu hati tetap tidak bisa bohong bahwa film ini mampu menghibur dan menyentuh. 

Yup, meskipun film ini cukup memberi porsi besar dalam pembentukan idealisme, toh intinya ini hanyalah film ringan yang bertujuan mengendurkan ketegangan urat saraf kita dengan sajian komedinya, namun film ringan ini juga menyajikan beberapa pelajaran berharga yang patut kita ambil.

2 comments:

  1. Salah satu film favoritku sepanjang masa...!

    "Kejarlah cintamu sampai ke negeri Cina..." :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ga nyangka ya Indonesia bisa bikin film secerdas ini.. Bravo sineas Indonesia.

      "Sekali berarti setelah itu, baru mati"

      Delete